Untuk suatu
kedewasaan..
Sudah waktunya
ini dipastikan, harus ada hubungan resmi yang mengikat sebagai kejelasan. Harus
ada.. harus ada...
Anton berdiri di
depan kaca etalase mini market tempat ia bekerja sambilan. Bunga di tangan
kanannya keliatan masih segar. Tersimpan rapi cincin dalam sakunya. Ia menunggu
bis yang akan datang membawa gadis pujaannya pulang.
Seminggu setelah
kejadian itu, Aira mendapat tawaran untuk masuk dalam tim desain di Australia
sehingga ia akan ada di Australi selama sekitar 1 tahun. Hari ini adalah hari
kepulangannya. Hari pembuktian suatu keseriusan.
Sebuah bis
berhenti, seseorang turun dari bis itu. Hembusan angin menghampiri. Tidak ada
rambut panjang yang bergoyang ditiup angin, tetapi helaian kain yang mengalun
lembut diterpa angin. Anton berjalan mendekat, dengan senyum melebar. Airakah
itu? Bukan! Siapa dia?
Seorang gadis
kecil tersenyum kecil, terhiaskan kerudung yang melindungi mahkotanya. Senyum
yang sama yang selama ini ia rindukan. Itu aira, tapi bukan aira yang dulu. Dia
aira, Mungkin Aira yang sudah dewasa. Gadis itu berkerudung.
Anton berlari mendekat
menyebrangi jalan, kalung di lehernya bergoyang-goyang. Tangannya mendekap erat
sakunya, bukan hanya sakunya tetapi apa yang ada di dalam sakunya. Gadis itu
melambaikan tangan menyambut laki-laki itu.
“Aira..”
“Hi Anton.”
“Sejak kapan?”
Anton melihat ke arah kerudung Aira
“Hemm, sekitar
seminggu setelah aku di Australi”
“Kenapa?”
“Perintah
Tuhanku”, Aira menjawab singkat. Cukup singkat untuk dimengerti Anton.
“Selamanya?”
“Tentu! Sebagai
bukti bahwa aku seorang wanita”, Aira tertawa
Kalung di leher Anton
bergoyang perlahan lalu berhenti
Anton tertawa,
tubuhnya berguncang. Ternyata mungkin memang cincin ini bukan untuknya.
“aku mencintaimu
Aira”
Hening
Aira hanya
menatap Anton
“Kamu masih juga
mengatakannya Anton”
Anton tertawa,
dia menggenggam erat kalung di lehernya. Kalung pemberian ibunya untuknya.
Kalung dengan liontin salib sebagai tanda agamanya. Ya sebagai tanda agamanya
Dan kerudung
Aira sebagai tanda agamanya juga
Sebuah
pembuktian
“Aku mencintaimu
Aira”
“Sejak aku
melihatmu di sini, di bawah hujan”
“Aku menunggumu
Aira, menunggu hati yang terbuka untukku”
“Aku mencintaimu
Aira, hingga tangismu sudah cukup dalam melukaiku”
“Tapi...”
“aku lebih
mencintai Tuhanku”
“seperti kau
mencintai Tuhanmu”
Air mata meleleh
dari kedua mata Aira, hembusan angin yang begitu dingin tidak lagi menusuk
kulitnya. Tangisan perlahan itu menjadi sebuah isakan. Aira tertunduk dan
menangis. Anton hanya melihat tangis itu, ingin ia mengusap air mata itu,
tetapi bukan itu yang seharusnya terjadi.
“Maafkan aku
Anton”
“Kesalahanku”
“Maafkan aku
Anton”, suara Aira terbata-bata
Anton merogoh cincin
di sakunya, dia melihatnya perlahan. Masih indah, cukup indah baginya. Tapi ini
memang yang harus terjadi.
“Aku tidak akan
memberimu ini Aira”,
“Tidak akan
kuberi agar kamu tidak perlu menjawab”
“Agar akupun
tidak menunggu, agar akupun berhenti mengejarmu”
“Karena memang
ini tidak seharusnya terjadi”
“Kau Gadis
Hujanku”
“Cinta
pertamaku, berbahagialah”
Anton melempar
cincin itu ke jalanan. Aira tersenyum lembut ke arah Anton, masih ada air mata
yang menetes dari kedua pipinya.
“Terima kasih
Anton”
0 comments:
Post a Comment