RSS

GADIS HUJAN #5


Terkadang aku melihat hujan begitu indah, tetapi terkadang keindahan itu berubah. Aku melihat hujan begitu menakutkan, airnya yang menetes tidak lagi menyejukkan tetapi menusuk dengan tajam. Hujanpun bisa berubah, kenapa aku tidak?
Perubahan, orang terkadang berusaha untuk berubah. Berubah menjadi apa? Apa perlu aku bermetamorfosa seperti ulat yang kemudian menjadi kupu-kupu? Aku melihat sekeliling, aku tidak ingin berlarut-larut dengan ini semua. Keputusan harus diambil, harus ada yang dikorbankan. Ini hakku, kehormatanku.
Aira melihat pada maket yang akan ia presentasikan sebagai rancangan rumah klien pertamanya setelah ia menjadi arsitek secara resmi 3 bulan yang lalu. Dia tersenyum kecil, matanya tidak lagi melihat pada hasil maket rancangannya tapi keluar jendela. Hari itu cerah, tidak hujan, tidak juga mendung. Aira berlari kecil ke arah jendela, membuka jendela itu dan menikmati siraman cahaya matahari yang menyengat kulit putihnya. Angin sepoi terus membelai lembut rambut panjangnya, jalinan-jalinan kecil itu terkait indah menyentuh kulit wajahnya. Senyumnya lebih cerah dari sinar matahari pagi itu.
Indah...
Seseorang berdiri di bawah melihat aira, dia tidak merasakan deguban jantung yang terus menggebu. Dia tidak menghiraukan itu, hatinya yang bergejolak, dia tidak peduli. Karena dia jatuh cinta tanpa alasan pada gadis hujan itu. Tangannya mengepal kaku, melawan kebahagiaan setelah melihat pemandangan indah itu pagi ini.



Halte malam itu sepi, Aira duduk sendiri di bangku untuk menunggu bis yang akan datang sekitar 20 menit lagi. Bintang-bintang menemaninya, hembusan angin memanjakannya. Dari arah jalan berlawanan seorang laki-laki berjalan mendekat, silauan cahaya lampu mengaburkan pandangan Aira terhadap laki-laki itu. Semakin mendekat, semakin mendekat, semakin terlihat sosok laki-laki itu. Bukan orang yang ditunggunya, ternyata bukan. Laki-laki itu berdiri di samping Aira.
“Masih 20 menit lagi”, Aira berkata pada laki-laki itu memberitahu waktu datangnya bis
Laki-laki itu diam,
“Aku Anton”, laki-laki itu memperkenalkan diri setelah keheningan
Aira tersenyum ke arah laki-laki itu
“Aira”, jawab Aira lembut
“kamu seorang dokter kan Anton?”, Aira melanjutkan
Anton terdiam lagi, bagaimana gadis hujannya mengetahui siapa dia, apakah selama ini dia juga mengagumiku seperti aku mengaguminya.
“iya, kamu tahu?”
“tentu aku tahu, kamu buka praktek di dekat rumahku”
Buyar, lamunan dan imajinasi Anton berubah. Tidak seperti itu..
“iya, aku juga bekerja disana”, Anton menunjuk sebuah minimarket kecil di seberang jalan
“oh iyakah? Seorang dokter masih memerlukan kerja sambilan?”, Aira tersenyum kecil
“untuk mempelajari kehidupan aira, terkadang satu profesi saja hanya akan membutakanmu akan hidup, jadi yang berbeda justru akan membantu”,
Aira menoleh ke arah Anton, kalimatnya barusan menusuk hatinya. Mempelajari kehidupan, berarti ia harus mencari profesi pekerjaan sambilan yang benar-benar berbeda untuk mempelajari kehidupan.
“Tapi cara untuk mempelajari kehidupan masing-masing orang berbeda Aira, kamu tidak sama denganku”, Anton berkata lagi seakan tahu akan apa yang dipikiran Aira.
“iya mungkin kamu benar”
Oh gadis hujanku, akhirnya aku melangkah maju dalam balutan kata denganmu malam ini. Bukankah aku sudah cukup bersabar menanti senyum itu untukku.
Percakapan sederhana di halte malam itu menjadi awal dari sebuah jalinan perkenalan. Perkenalan untuk pertemanan, mungkin. Ada harapan ada mimpi ada ambisi yang berbeda diantara mereka, apakah perbedaan itu akan saling terjalin dan menganyam indah?


“dia orang baik ibas, mungkin bisa menjadi sahabat”, Aira berkata riang sambil memainkan kakinya di air danau sore itu
“siapa yang tidak baik sama perempuan canti sepertimu”, ibas berkata dengan nada cemburu
Aira tertawa riang mendengar kecemburuan Ibas
“untuk apa kamu marah? Siapa aku buat kamu?”, Aira menyerang
“kamu...”, ibas tidak dapat melanjutkan perkataannya
“kamu.................”,
“kamu.........”
Ibas mengulangi kata itu lagi tanpa meneruskan kalimatnya
“aku akan menjelaskan siapa kamu buat aku setelah waktunya tepat”, ibas mengelak
Senyum cerah Aira berubah, ada mendung di kedua matanya
“dan itu kapan?”, Aira bertanya lagi
“secepatnya”
“terima kasih”, mendung itu menyebabkan hujan
Hujan di kedua mata Aira, hanya gerimis kecil yang turun perlahan ke pipinya. Tangan ibas mengepal kaku di samping tubuhnya, tidak dapat ia gerakkan untuk mengusap air mata itu. Hatinya sakit melihat hujan di kedua matanya. Setelah sekian tahun hanya pertemuan sore ini yang dapat ia berikan, bukan sebuah ikatan pernikahan. Setelah sekian tahun, mungkin hanya luka yang akan ia berikan pada gadis kecil di depannya itu. Dan usapan tangannya di pipinya hanya akan meninggalkan luka baginya.
Waktu sudah bergulir begitu cepat, sekarang bukanlah waktu untuk beranjak dewasa, tetapi waktu untuk dewasa. Segala keputusan harus diambil mulai saat ini. Harus ada keberanian untuk kehilangan, meskipun itu berarti kehilangan senyum ceria gadis kecil ini, berarti harus kehilangan saat-saat indah ini. Biarkanlah, ini saat yang memang tepat.





Untuk suatu kedewasaan..
6 bulan kemudian
AIRA GALLERY
“Hi”,
Aira menoleh “Oh Hi”,
Gadis hujan itu mendekat, ia mendekat. Ya Tuhan dia mendekat. Setelah 4 bulan lamanya tidak bertemu dengan senyum indah itu, getaran hati semakin cepat.
“Kamu sudah pulang? Bagaimana tugasmu disana? Oke kan?”
Berhenti, tolong berhenti dulu Aira jangan memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan itu dulu, aku masih belum bisa menjawab. Pandanganku masih ada di bayangmu, yang aku rindukan selama ini.
“hmm, baik. Dan ya aku pulang”, Anton menjawab gagap pertanyaan Aira
“Dokter yang baik”, puji Aira dengan menyenggol bahu Anton
“Yang seperti itu kamu bilang hebat Aira?”
“Ya tentu saja, tugas di pulau yang kecil meninggalkan hiruk pikuk kota demi masyarakat tentunya hebat bukan?”
Anton tertawa, kalung di lehernya bergoyang-goyang. Aira melihat kalung itu bergoyang, memperhatikan, mengamati. Sungguh bohong jika Aira tidak menyadari perasaan Anton kepadanya, tapi Aira ingin tetap seperti ini, berpura-pura tidak tahu apa-apa.  Belum saatnya dan belum waktunya untuk itu.
Anton duduk di kursi taman, ada koran yang tergeletak di meja. Dia membaca keras-kera headline berita di koran itu.
“KEKASIH RAHASIA PANGERAN TERUNGKAP”
“KELUARGA KERAJAAN MARAH BESAR”
“ORANG KETIGA PADA KEHIDUPAN PERCINTAAN PANGERAN”
“Wah sejak aku pergi tada banyak berita yang terlewat ya, disana tidak ada tv sih, tidak ada koran juga”, Anton berteriak ke arah Aira yang membuat kopi di dapur.
Aira berbalik dengan membawa nampan berisi kopi,
“Ah iya Anton, hanya berita itu aja sih”
Aira mendekat dengan membawa kopi itu ke arah Anton, ada mendung di kedua matanya
Cangkir kopi itu ia letakkan di meja, ada butiran hujan yang menetes ke dalam cangkir itu. Anton melihat ke arah Aira, hanya ada bayangan. Gelap. Tidak! Aku tidak ingin melihat tangis di matamu gadis hujanku.
Aira tersungkur di lantai, ia duduk kaku menghadap lantai seakan ada yang menarik di atas lantai itu. Terdengar isakan yang terdengar. Anton menggerakkan tangannya, mengusap kepalanya. Ada apa?
“Aku merasa kasihan dengan wanita itu”
Anton terdiam
“Dia belum menikah kenapa sudah menyebut wanita itu orang ketiga? Tidak ada yang tahu hubungan antara mereka kenapa kenapa orang berani menyebut dia sebagai kekasih rahasia?”
“aira, maksudmu...”, ucapan Anton terhenti
Aira berdiri dan berlari masuk ke dalam rumah, tanpa berkata apa-apa lagi meninggalkan Anton yang tertunduk lesu disana. Tidak ada yang ia mengerti, semua seperti kepingan puzzle. Siapa Aira? Apa hubungannya dengan berita itu?
Anton membuka halaman demi halaman koran itu. Ada potongan foto yang begitu ia kenal, yang senyumnya begitu ia rindukan. Yang bahkan bayangannya saja menyejukkan hatinya. Sakit, mungkin sakit yang sama yang dirasakan Aira saat ini. Seorang dokter yang tidak dapat menemukan obat bagi sakitnya.
Angin berhembus perlahan
Memburamkan gambar itu, menyiapkan latar yang berbeda
Sudah saatnya ini dipastikan, sudah waktunya ini dihentikan. Takdir yang ada

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment