Terkadang aku
melihat hujan begitu indah, tetapi terkadang keindahan itu berubah. Aku melihat
hujan begitu menakutkan, airnya yang menetes tidak lagi menyejukkan tetapi
menusuk dengan tajam. Hujanpun bisa berubah, kenapa aku tidak?
Perubahan, orang
terkadang berusaha untuk berubah. Berubah menjadi apa? Apa perlu aku
bermetamorfosa seperti ulat yang kemudian menjadi kupu-kupu? Aku melihat
sekeliling, aku tidak ingin berlarut-larut dengan ini semua. Keputusan harus
diambil, harus ada yang dikorbankan. Ini hakku, kehormatanku.
Aira melihat
pada maket yang akan ia presentasikan sebagai rancangan rumah klien pertamanya
setelah ia menjadi arsitek secara resmi 3 bulan yang lalu. Dia tersenyum kecil,
matanya tidak lagi melihat pada hasil maket rancangannya tapi keluar jendela.
Hari itu cerah, tidak hujan, tidak juga mendung. Aira berlari kecil ke arah
jendela, membuka jendela itu dan menikmati siraman cahaya matahari yang
menyengat kulit putihnya. Angin sepoi terus membelai lembut rambut panjangnya,
jalinan-jalinan kecil itu terkait indah menyentuh kulit wajahnya. Senyumnya lebih
cerah dari sinar matahari pagi itu.
Indah...
Seseorang
berdiri di bawah melihat aira, dia tidak merasakan deguban jantung yang terus
menggebu. Dia tidak menghiraukan itu, hatinya yang bergejolak, dia tidak
peduli. Karena dia jatuh cinta tanpa alasan pada gadis hujan itu. Tangannya
mengepal kaku, melawan kebahagiaan setelah melihat pemandangan indah itu pagi
ini.
Halte malam itu
sepi, Aira duduk sendiri di bangku untuk menunggu bis yang akan datang sekitar
20 menit lagi. Bintang-bintang menemaninya, hembusan angin memanjakannya. Dari
arah jalan berlawanan seorang laki-laki berjalan mendekat, silauan cahaya lampu
mengaburkan pandangan Aira terhadap laki-laki itu. Semakin mendekat, semakin
mendekat, semakin terlihat sosok laki-laki itu. Bukan orang yang ditunggunya,
ternyata bukan. Laki-laki itu berdiri di samping Aira.
“Masih 20 menit
lagi”, Aira berkata pada laki-laki itu memberitahu waktu datangnya bis
Laki-laki itu
diam,
“Aku Anton”,
laki-laki itu memperkenalkan diri setelah keheningan
Aira tersenyum
ke arah laki-laki itu
“Aira”, jawab
Aira lembut
“kamu seorang
dokter kan Anton?”, Aira melanjutkan
Anton terdiam
lagi, bagaimana gadis hujannya mengetahui siapa dia, apakah selama ini dia juga
mengagumiku seperti aku mengaguminya.
“iya, kamu
tahu?”
“tentu aku tahu,
kamu buka praktek di dekat rumahku”
Buyar, lamunan
dan imajinasi Anton berubah. Tidak seperti itu..
“iya, aku juga
bekerja disana”, Anton menunjuk sebuah minimarket kecil di seberang jalan
“oh iyakah?
Seorang dokter masih memerlukan kerja sambilan?”, Aira tersenyum kecil
“untuk
mempelajari kehidupan aira, terkadang satu profesi saja hanya akan membutakanmu
akan hidup, jadi yang berbeda justru akan membantu”,
Aira menoleh ke
arah Anton, kalimatnya barusan menusuk hatinya. Mempelajari kehidupan, berarti
ia harus mencari profesi pekerjaan sambilan yang benar-benar berbeda untuk
mempelajari kehidupan.
“Tapi cara untuk
mempelajari kehidupan masing-masing orang berbeda Aira, kamu tidak sama
denganku”, Anton berkata lagi seakan tahu akan apa yang dipikiran Aira.
“iya mungkin
kamu benar”
Oh gadis
hujanku, akhirnya aku melangkah maju dalam balutan kata denganmu malam ini.
Bukankah aku sudah cukup bersabar menanti senyum itu untukku.
Percakapan
sederhana di halte malam itu menjadi awal dari sebuah jalinan perkenalan.
Perkenalan untuk pertemanan, mungkin. Ada harapan ada mimpi ada ambisi yang
berbeda diantara mereka, apakah perbedaan itu akan saling terjalin dan
menganyam indah?
“dia orang baik
ibas, mungkin bisa menjadi sahabat”, Aira berkata riang sambil memainkan
kakinya di air danau sore itu
“siapa yang
tidak baik sama perempuan canti sepertimu”, ibas berkata dengan nada cemburu
Aira tertawa
riang mendengar kecemburuan Ibas
“untuk apa kamu
marah? Siapa aku buat kamu?”, Aira menyerang
“kamu...”, ibas
tidak dapat melanjutkan perkataannya
“kamu.................”,
“kamu.........”
Ibas mengulangi
kata itu lagi tanpa meneruskan kalimatnya
“aku akan
menjelaskan siapa kamu buat aku setelah waktunya tepat”, ibas mengelak
Senyum cerah
Aira berubah, ada mendung di kedua matanya
“dan itu
kapan?”, Aira bertanya lagi
“secepatnya”
“terima kasih”,
mendung itu menyebabkan hujan
Hujan di kedua
mata Aira, hanya gerimis kecil yang turun perlahan ke pipinya. Tangan ibas
mengepal kaku di samping tubuhnya, tidak dapat ia gerakkan untuk mengusap air
mata itu. Hatinya sakit melihat hujan di kedua matanya. Setelah sekian tahun
hanya pertemuan sore ini yang dapat ia berikan, bukan sebuah ikatan pernikahan.
Setelah sekian tahun, mungkin hanya luka yang akan ia berikan pada gadis kecil
di depannya itu. Dan usapan tangannya di pipinya hanya akan meninggalkan luka
baginya.
Waktu sudah
bergulir begitu cepat, sekarang bukanlah waktu untuk beranjak dewasa, tetapi
waktu untuk dewasa. Segala keputusan harus diambil mulai saat ini. Harus ada
keberanian untuk kehilangan, meskipun itu berarti kehilangan senyum ceria gadis
kecil ini, berarti harus kehilangan saat-saat indah ini. Biarkanlah, ini saat
yang memang tepat.
Untuk suatu
kedewasaan..
6 bulan kemudian
AIRA GALLERY
“Hi”,
Aira menoleh “Oh
Hi”,
Gadis hujan itu
mendekat, ia mendekat. Ya Tuhan dia mendekat. Setelah 4 bulan lamanya tidak
bertemu dengan senyum indah itu, getaran hati semakin cepat.
“Kamu sudah
pulang? Bagaimana tugasmu disana? Oke kan?”
Berhenti, tolong
berhenti dulu Aira jangan memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan itu dulu,
aku masih belum bisa menjawab. Pandanganku masih ada di bayangmu, yang aku
rindukan selama ini.
“hmm, baik. Dan
ya aku pulang”, Anton menjawab gagap pertanyaan Aira
“Dokter yang
baik”, puji Aira dengan menyenggol bahu Anton
“Yang seperti
itu kamu bilang hebat Aira?”
“Ya tentu saja,
tugas di pulau yang kecil meninggalkan hiruk pikuk kota demi masyarakat
tentunya hebat bukan?”
Anton tertawa,
kalung di lehernya bergoyang-goyang. Aira melihat kalung itu bergoyang,
memperhatikan, mengamati. Sungguh bohong jika Aira tidak menyadari perasaan
Anton kepadanya, tapi Aira ingin tetap seperti ini, berpura-pura tidak tahu
apa-apa. Belum saatnya dan belum
waktunya untuk itu.
Anton duduk di
kursi taman, ada koran yang tergeletak di meja. Dia membaca keras-kera headline
berita di koran itu.
“KEKASIH RAHASIA
PANGERAN TERUNGKAP”
“KELUARGA
KERAJAAN MARAH BESAR”
“ORANG KETIGA
PADA KEHIDUPAN PERCINTAAN PANGERAN”
“Wah sejak aku
pergi tada banyak berita yang terlewat ya, disana tidak ada tv sih, tidak ada
koran juga”, Anton berteriak ke arah Aira yang membuat kopi di dapur.
Aira berbalik
dengan membawa nampan berisi kopi,
“Ah iya Anton,
hanya berita itu aja sih”
Aira mendekat
dengan membawa kopi itu ke arah Anton, ada mendung di kedua matanya
Cangkir kopi itu
ia letakkan di meja, ada butiran hujan yang menetes ke dalam cangkir itu. Anton
melihat ke arah Aira, hanya ada bayangan. Gelap. Tidak! Aku tidak ingin melihat
tangis di matamu gadis hujanku.
Aira tersungkur
di lantai, ia duduk kaku menghadap lantai seakan ada yang menarik di atas
lantai itu. Terdengar isakan yang terdengar. Anton menggerakkan tangannya,
mengusap kepalanya. Ada apa?
“Aku merasa kasihan
dengan wanita itu”
Anton terdiam
“Dia belum
menikah kenapa sudah menyebut wanita itu orang ketiga? Tidak ada yang tahu
hubungan antara mereka kenapa kenapa orang berani menyebut dia sebagai kekasih
rahasia?”
“aira,
maksudmu...”, ucapan Anton terhenti
Aira berdiri dan
berlari masuk ke dalam rumah, tanpa berkata apa-apa lagi meninggalkan Anton
yang tertunduk lesu disana. Tidak ada yang ia mengerti, semua seperti kepingan
puzzle. Siapa Aira? Apa hubungannya dengan berita itu?
Anton membuka
halaman demi halaman koran itu. Ada potongan foto yang begitu ia kenal, yang
senyumnya begitu ia rindukan. Yang bahkan bayangannya saja menyejukkan hatinya.
Sakit, mungkin sakit yang sama yang dirasakan Aira saat ini. Seorang dokter
yang tidak dapat menemukan obat bagi sakitnya.
Angin berhembus
perlahan
Memburamkan
gambar itu, menyiapkan latar yang berbeda
Sudah saatnya
ini dipastikan, sudah waktunya ini dihentikan. Takdir yang ada
0 comments:
Post a Comment