Ketika saat-saat tertentu, dalam detik-detik yang berlalu dalam hidup saya selalu melihat, menyadari dan memahami bagaimana perilaku setiap orang di sekitarku. Ketika mereka marah, sedih, ataupun bahagia. Bukan hal menarik apabila kita melihat hanya dalam satu perspektif saja, berbeda apabila kita menyelami hal itu labih dalam dan melihat bagaimana hal itu adalah sumber pembelajaran bagi kita, menjadi sebuah adegan yang menarik untuk kita jadikan sebuah pengalaman hidup. Betapa ruginya apabila kita tidak melihat bagaimana bumi berputar, bagaimana kehidupan di sekitar kita berputar. Kita tidak hanya sendiri, ada banyak orang yang ada di sekitar kita yang mempengaruhi dan berjalan bersama kita dalam kehidupan kita, dan itu sebuah kebohongan apabila kita hanya cuek terhadap semua itu.
Beberapa
hari yang lalu, saya melihat seorang teman wanita menangis, ini memang bukan
pertama kalinya bagi saya untuk melihat orang lain menangis apalagi sebagai
seorang perempuan tentu kehidupan saya dekat dengan air mata. Suatu
permasalahan datang bertubi-tubi, terkadang cenderung begitu berat dan yang
sebagian besar kaum wanita lakukan adalah menangis, hal awal yang mereka
lakukan dan termasuk saya lakukan juga adalah menangis. Air mata yang bergulir
itu tidaklah menghapus kesedihan ataupun menghilangkan permasalahan. Air mata
yang bergulir itu hanya bergulir mesra dengan indahnya di kedua pipi, seakan
tidaklah ada gunanya. Lalu kenapa Allah memberikan kodrat bagi seorang wanita
cenderung lebih mudah menangis? Air mata yang mengalir itu membawa kekecawaan,
penyesalan dan kebimbangan. Mengalirkan semua itu jatuh, sederhana, setetes air
mata melegakan perasaan. Perasaan kami kaum wanita.
Ketika
menghadapai seorang teman yang menangis, hal yang selalu saya lakukan meskipun
berkali-kali saya melihat wanita menangis adalah diam. Diam memperhatikan air
mata itu meluncur pelan dari matanya. Mata seorang wanita yang begitu indah. Dan
saya selalu bingung apa yang harus saya lakukan. Apakah kalimat “semua akan
baik-baik saja” akan membuatnya lebih baik. Apakah tatapanku dalam diam itu
akan membantu temanku itu untuk tidak menangis? Saya merasa segalanya salah,
karena saya melihat seorang wanita menangis hanya dalam perspektif diri saya
sebagai seorang wanita. Saat itu, saya merasa bersalah karena membiarkan air
mata itu menetes dari mata kaumku. Saya bersalah karena tidak tahu bagaimana
membendung kesedihan dari wanita-wanita di sekitarku, dan yang hanya saya bisa
lakukan adalah diam.
Wanita,
perempuan, gadis, istri,ibu, janda, dan
segala sebutan lain yang mereka katakan terhadap kaumku menjadikanku begitu
takut, bingung terhadap pelabelan itu. Sedangkan menjadi apapun akan tetap ada
air mata yang mengiri. Meskipun saya belum pernah merasakan tentu ada suatu perasaan
takut ketika label kita akan berubah menjadi “istri”, secara tidak langsung
kita selalu takut untuk sedih sedangkan hal itu selalu saja ada di sekitar
kita. Atau kita nantinya akan menjadi “ibu”, bagaimana menghadapi tangisan bayi
sedangkan kita sendiri masih sering menangis. Inilah yang terjadi, karena saya
adalah wanita yang begitu dimuliakan.
Untuk
wanita Indonesia, tegarlah dan kuatlah!
0 comments:
Post a Comment