Beberapa
waktu yang lalu ketika membantu dalam melakukan pengajaran di sebuah TPA saya
begitu kaget ketika ada celetukan dari seorang anak ketika mereka sedang
membicarakan sudah berapa hari berpuasa. Anak kecil itu mengatakan kepada anak
lain dengan nada yang sinis mengenai suatu golongan “Kowe kan Muhammadiyah” (kamu kan Muhammadiyah). Saya begitu
kaget mendengarnya, apalagi perkataan itu disambung dengan deretan kata yang
kurang pantas untu perkembangan psikologi anak. Apalagi ketika saat kecil dia
dihadapkan pada suatu perbedaan yang menunjukkan bahwa hanya dia yang berbeda
dan keadaan sekelilingnya seakan memusuhinya dan tidak terima dengan perbedaan
itu.
Hal
pertama yang saya pikirkan saat itu adalah salah, ini kesalahan kami orang
dewasa yang seharusnya lebih memahami mengenai arti perbedaan itu dan bagaimana
bersikap sehingga dapat dijadikan contoh bagi adik-adik atau generasi yang
lebih muda. Ah ini benar-benar kesalahan ketika seseorang mengatakan mengenai
perbedaan. Hal selanjutnya yang saya pertanyakan adalah memangnya ada ya Islam
muhammadiyah? Ada ya Islam NU? Ada ya Islam apa gitu? Karena selama ini yang
saya tahu ya hanya ada satu, yaitu ISLAM. Hanya ISLAM gak pake embel-embel
lainnya. Trenyuh dan sedih waktu itu ketika saya melihat dan mendengar, anak
sekecil itu sudah begitu salah dalam memaknai perbedaan dan kesalahan dalam
bersikap. Ini salah, kesalahanku dan generasi sebelumku juga, yang mengajarkan
kesalahan. Ingatan saya langsung melayang pada saat saya masih kecil dulu.
Saya
hidup dengan keluarga yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat sekitar. Dengan
cara pandang yang berbeda, dengan perbedaan itu saya terkadang merasakan beban
psikologis, apalagi ada yang saling menyalahkan. Kenapa harus saling
menyalahkan apabila itu memiliki dasar yang sama yaitu Al-Qur’an dan Hadist?
Berjalanlah sesuai dengan keyakinan kita masing-masing. Agamaku Islam. Ya Cuma
Islam, Tuhanku Allah, tiada Tuhan selain Allah, nabiku Muhammad. Kita sama
bukan? Hanya perbedaan cara pandang terkadang membuatku seakan yang bersalah di
sekolah, ketika saya mengemukakan pendapat. Atau saat beribadah. Saya masih
single, dimana tanggung jawab masih ada pada Ayahku, saya belum bersuami dan
saya masih punya kebebasan dalam mengkaji berbagai hal dengan dasar-dasar yang
memang benar. Berbeda! Berbeda! Berbeda! Aku pernah merasakan bagaimana
perasaan anak kecil tadi yang diolok oleh teman-teman lainnya. Ada hal yang
begitu saya takutkan ketika ia tumbuh dewasa dengan beban dan perasaan
tersakiti yaitu ketika ia sudah dewasa maka ia termasuk golongan orang-orang
yang mempermasalahkan perbedaan, yang merasa paling benar, karena balas dendam
dari masa kecilnya. Hal seperti itu memang benar-benar mungkin terjadi.
Mungkin
karena itu saya begitu sensitiv ketika orang lebai mempersoalkan mengenai suatu
perbedaan. Meskipun terkadang saya melihat beberapa teman kuliah memiliki cara
pandang yang berbeda, dan menyikapi perbedaan itu dengan kurang bijaksana, ada
perasaan di hati yang terasa tercabik-cabik dan pertanyaan WHY? WHO ARE YOU?
Begitu gampangkah orang mencela saudara seagamanya? Bahkan saya sering sekali
mereka saling menyebut kafir dan zionis. Ya Allah, sudah dekat memang kiamat
itu, sungguh dekat. Bagaimana tidak, orang saling menunjukkan kelemahannya
sendiri tanpa sadar, saling mencela. Saya kurang berilmu, tapi saya merupakan
pelaku dan korban juga terhadap sikap kurang dewasa dalam menyikapi perbedaan.
Sebenarnya ada apa dengan kita, kita sendiri yang memecah-mecah yang sebenarnya
satu. Bahkan anak sekecil itu, yang seharusnya begitu polos bisa mengatakan hal
yang seperti itu.
Salahkah
pengajaran selama ini?
Salahkah
sikap yang ditunjukkan para pemuka itu yang dijadikan contoh banyak orang?
Salahkah
menjadi berbeda? Salahkah kita berpikir dengan cara yang berbeda? Toh sumber
kita sama, toh dasar kita memang benar?
Saya
ingin mengajak para pembaca semua untuk tidak terlalu kaku dalam berpikir, dan
merasa bahwa apa yang dilihat hanya itulah kebenaran yang ada. Apakah kita
ingin generasi kita nanti saling mengolok untuk suatu perbedaan yang seharusnya
merupakan pelengkap. Kelima jari kita berbeda satu sama lain dan memiliki
fungsinya masing-masing. Ayolah kita saling menghormati dan bertindak lebih
dewasa dalam menyikapi hal seperti ini. Kembalikan semua kepada Allah SWT, bukankah
Allah merupakan hakim yang paling adil? Tidak ada keraguan sama sekali.
Sejujurnya
saya ingin marah, berontak kepada pendahulu saya yang menyebabkan semua
kejadian ini. Memang sifat dasar dari manusia yang memiliki nafsu, yang menjadi
penyebab adaya keegoan. Islam adalah rahmatalilalamiin, penuh dengan kasih
sayang, kenapa mereka mengajari untuk saling menjatuhkan? Sedangkan kita
saudara. Para pemuka yang sosoknya dilihat oleh seluruh dunia, menjadi contoh
oleh khalayak, bisakah bersikap dengan kedamaian? Ayolah, jangan biarkan
jiwa-jiwa baik yang masih polos itu ternoda dan penuh kebencian hanya karena
perbedaan yang sebenarnya tidaklah berbeda. Kita yang membuat parit dalam
perbedaan itu sendiri, kita yang membuatnya berbeda, dan kita yang mempermasalahkannya.
-----
gadis hujan ----